periklanan |
Written by Agatha Mahardini |
Friday, 01 June 2012 16:49 |
Definisi Iklan
Menurut Thomas M. Garret, SJ, iklan dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang lewatnya pesan-pesan visual atau oral disampaikan kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau memengaruhi mereka untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara positif terhadap idea-idea, institusi-institusi tau pribadi-pribadi yang terlibat di dalam iklan tersebut. Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dsb). Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis.
Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan kehilangan nilai-nilai informatifnya, dan menjadi semata-mata bersifat propaganda barang dan jasa demi profit yang semakin tinggi dari para produsen barang dan jasa maupun penyedia jasa iklan. Padahal, sebagaimana juga digarisbawahi oleh Britt, iklan sejak semula tidak bertujuan memperbudak manusia untuk tergantung pada setuap barang dan jasa yang ditawarkan, tetapi justru menjadi tuan atas diri serta uangnya, yang dengan bebas menentukan untuk membeli, menunda atau menolak sama sekali barang dan jasa yang ditawarkan. Hal terakhir ini yang justru menegaskan sekali lagi tesis bahwa iklan bisa menghasilkan keuntungan-keuntungan bagi masyarkat.
Sejarah Periklanan
Secara mendasar, upaya periklanan telah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu. Banyak penemuan-penemuan purbakala yang mengungkapkan adanya bukti kegiatan promosi dan periklanan sejak jaman dahulu, walaupun masih dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana. Sejarah periklanan telah dimulai ribuan tahun lalu, ketika bangsa-bangsa di dunia mulai melakukan pertukaran barang. Wright (dalam Liliweri, 1992) mencatat bahwa kira-kira 3000 tahun sebelum Masehi, bangsa Mesopotamia dan Babilonia telah meletakkan dasar-dasar periklanan seperti yang terlihat sekarang ini. Pada jaman itu, pedagang-pedagang menyewa perahu-perahu dan menyuruh pedagang keliling mengantarkan hasil produksi ke konsumen yang tinggal di pedalaman dengan menggunakan teknik pemasaran door to door. Pada jaman Yunani dan Romawi, teknik beriklan mengalami perkembangan . Pada jaman ini telah dikenal perdagangan antarkota dimana iklan pada terekota dan perkamen sudah mulai digunakan untuk kepentingan Lost & Found (Kasali, 1995). Pada masa inilah mulai disadari pentingnya menggunakan medium untuk menyampaikan informasi. Para pemilik usaha menggunakan pahatan di dinding-dinding kota untuk memberitahu orang banyak bahwa mereka mempunyai dagangan tertentu. Pada zaman Caesar, banyak toko di kota-kota besar yang telah mulai memakai tanda dan symbol atau papan nama sebagai media utama dalam beriklan.
Periklanan memasuki babak sejarah yang sangat penting ketika kertas ditemukan pada tahun 1215 di Cina dan mesin cetak diciptakan Johann Gutenberg pada tahun 1450. Sejak itu medium-medium kuno ditinggalkan. Orang beralih ke pamphlet atau selebaran-selebaran untuk menginformasikan atau menjual sesuatu. Selebaran dan pamflet inilah yang menjadi cikal bakal munculnya surat kabar, sebuah medium klasik yang sampai sekarang tetap menjadi pilihan pengiklan sebagai medium utama.Periklanan mengalami perkembangan yang luar biasa cepat seiring dengan tumbuhnya era industri. Populasi penduduk dunia meningkat, industri-industri baru tumbuh dan iklan menempati posisi yang penting untuk mendorong penjualan. Sampai abad 19, belum ada perusahaan periklanan (advertising agency) baik di Eropa maupun di Amerika. Jadi, siapapun yang ingin mengiklankan sesuatu harus berhubungan dengan surat kabar. Sekitar tahun 1800-an, kerumitan dan kesulitan diantara pengiklan dan surat kabar mulai berkembang. Para pengiklan merasakan kebutuhan untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, bukan hanya masyarakat yang tinggal satu kota dengannya saja – sebagaimana distribusi surat kabar pada masa itu. Perkembangan itulah yang melahirkan kebutuhan perlunya penghubung antara surat kabar dengan pengiklan. Hower mencatat dua nama pertama yang bertindak sebagai advertising agent, yaitu Volney B. Palmer di Philadelphia dan John Hooper di New York. Oleh orang-orang sesudah mereka, bisnis tersebut dikembangkan ke dalam sebuah institusi yang disebut advertising agency.
Karena memiliki tanggung jawab moral dan interaksi yang cukup banyak dengan beragam segmen, para praktisi periklanan di sekitar abad 19 mulai meletakkan standar-standar periklanan yang lebih baik. Sebagai contoh, FW Ayer & Son yang didirikan di Philadelphia menjadi advertising agency tertua yang memberi tatanan modern pada bisnis periklanan. Agency yang didirikan Francis Wayland Ayer ini memperbaiki teknik-teknik periklanan dan memajukan standar layanan sebuah agency, termasuk mengembangkan prinsip-prinsip etika bagi sebuah bisnis yang sukses.
Beberapa standar penting yang berlaku saat ini merupakan ‘peninggalan’ para praktisi periklanan di abad 19 maupun awal-awal abad 20, seperti besarnya persentase komisi bagi agency sebesar 15% yang berlaku pada tahun 1917 maupun pembagian aktifitas perusahaan periklanan ke dalam 3 bidang dasar yaitu account, creative dan media.
Perkembangan periklanan di Indonesia
Perkembangan periklanan di Indonesia telah ada sejak lebih dari se abad yang lalu. Iklan yang diciptakan dan dimuat di surat kabar telah ditemukan di surat kabar “Tjahaja Sijang” yang terbit di Manado pada tahun 1869. Surat kabar tersebut terbit sebulan sekali setebal 8 halaman dengan 4 halaman ekstra. Iklan-iklan yang tercantum di surat kabar tersebut bukan hanya dari perusahaan / produsen, tetapi juga dari individu yang mencantumkan iklan untuk kepentingan pribadi.
Di tempat lain juga telah ada kegiatan periklanan melalui surat kabar, yaitu di Semarang pada tahun 1864. Surat kabar “De Locomotief yang beredar setiap hari telah memuat iklan hotel / penginapan di kota Paris. Iklan di kedua surat kabar ini masih didominasi oleh tulisan dan belum bergambar, karena kesulitan teknis cetak pada saat itu.Dalam perkembangannya, setiap surat kabar yang terbit kemudian, juga mencantumkan iklan sebagai sarana memperoleh penghasilan guna membiayai ongkos cetaknya.
Fungsi Periklanan
Periklanan dibedakan dalam dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif.
Dalam UU Perlindungan Konsumen NOMOR 8 TAHUN 1999
Pasal 1 berbunyi :
Pasal 7, poin b berbunyi :
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
kalau kita pahami pasal 7 poin b maka aspek perlindunggan terhadap konsumen harus lebih diperhatikan lagi, seolah olah dalam iklan tersebut mengatakan hanya sampo sunslik yang bisa membuat rambut lebih lembut dan melindungi dari ketombe. Seharusnya dalam iklan tersebut harus lebih educatif dalam penyajian materi iklannya. Dalam muatan penyajian materi periklanan harusnya konsumen diberikan informasi yang benar sehingga konsumen bisa memilih produk yang akan dibelinya.
Beberapa Prinsip Moral yang Perlu dalam Iklan
Terdapat paling kurang 3 prinsip moral yang bisa dikemukakan di sini sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam iklan.
Ketiga prinsip itu adalah
(1) masalah kejujuran dalam iklan,
(2) masalah martabat manusia sebagai pribadi, dan
(3) tanggung jawab sosial yang mesti diemban oleh iklan.
Ketiga prinsip moral yang juga digaris bawahi oleh dokumen yang dikeluarkan dewan kepuasan bidang komunikasi sosial untuk masalah etika dalam iklan ini kemudian akan didialogkan dengan pandangan Thomas M. Gerrett, SJ yang secara khusus menggagas prinsip-prinsip etika dalam mempengaruhi massa (bagi iklan) dan prinsip-prinsip etis konsumsi (bagi konsumen). Dengan demikian, uraian berikut ini akan merupakan “perkawinan” antara kedua pemikiran tersebut.
Prinsip ini berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali dilebih-lebihkan, sehingga bukannya menyajikan informasi mengenai persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan menciptakan kebutuhan baru. Maka yang ditekankan di sini adalah bahwa isi iklan yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi logis, adalah upaya manipulasi dengan motif apa pun juga.
Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi semakin ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutn imperatif (imperative requirement). Iklan semestinya menghormati hak dan tanggung jawab setiap orang dalam memilih secara bertanggung jawab barang dan jasa yang ia butuhkan. Ini berhubungan dengan dimensi kebebasan yang justeru menjadi salah satu sifat hakiki dari martabat manusia sebagai pribadi. Maka berhadapan dengan iklan yang dikemas secanggih apa pun, setiap orang seharusnya bisa dengan bebas dan bertanggung jawab memilih untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.
Yang banyak kali terjadi adalah manusia seakan-akan dideterminir untuk memilih barang dan jasa yang diiklankan, hal yang membuat manusia jatuh ke dalam sebuah keniscayaan pilihan. Keadaan ini bisa terjadi karena kebanyakan iklan dewasa ini dikemas sebegitu rupa sehingga menyaksikan, mendengar atau membacanya segera membangkitkan “nafsu” untuk memiliki barang dan jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarkat, dll.
Meskipun sudah dikritik di atas, bahwa iklan harus menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru karena perananya yang utama selaku media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, namun dalam kenyataannya sulit dihindari bahwa iklan meningkatkan konsumsi masyarakat. Artinya bahwa karena iklan manusia “menumpuk” barang dan jasa pemuas kebutuhan yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer. Penumpukan barang dan jasa pada orang atau golongan masyarkat tertentu ini disebut sebagai surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan. Menyedihkan bahwa surplus ini hanya dialami oleh sebagai kecil masyarakat. Bahwa sebagian kecil masyarakat ini, meskipun sudah hidup dalam kelimpahan, toh terus memperluas batasa kebutuhan dasarnya, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan.
Di sinilah kemudian dikembangkan ide solidaritas sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial dari iklan. Berhadapan dengan surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan manusia, dua hal berikut pantas dipraktekkan. Pertama, surplus barang dan jasa seharusnya disumbangkan sebagai derma kepada orang miskin atau lembaga/institusi sosial yang berkarya untuk kebaikan masyarakat pada umumnya (gereja, mesjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dll). Tindakan karitatif semacam ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kehidupan cultural masyarakat akan semakin berkembang. Kedua, menghidupi secara seimbang pemenuhan kebutuhan fisik, biologis, psikologis, dan spiritual dengan perhatian akan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Perhatian terhadap hal terakhir ini bisa diwujudnyatakan lewat kesadaran membayar pajak ataupun dalam bentuk investasi-investasi, yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan sebagian besar masyarakat.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar